Rabu, 31 Oktober 2012

"PEMIMPIN YANG BAIK"


Saya tergelitik untuk menulis mengenai Pemimpin Yang Baik tetapi dari kacamata awam saja. Bukan dengan kriteria teks book yang muluk-muluk, namun dari pandangan umum. Ternyata, sangat pintarpun belum bisa dijadikan jaminan seseorang untuk menjadi pemimpin yang baik. Pendidikan tinggi memang perlu, namun bukan jaminan untuk bisa menjadi pemimpin yang baik pula. 
Ada kenalan, sebut saja Pak Bejo, lulusan SLTA. Pak Bejo merintis usahanya dari "nol", hingga usahanya meraksasa dan sudah bisa export ke luar negri pula. Selama dibawah kepemimpinannya, perusahaannya aman dan damai-damai saja. Rata-rata karyawan yang diterima bekerja disana, menyelesaikan masa kerjanya sampai batas usia pensiun mereka. Menurut sekretaris yang menjadi orang kepercayaannya, Pak Bejo tersebut menjalankan usahanya dengan sistim kekeluargaan. Sangat terbuka dan mau mendengar saran, usulan atau kritikan dari anak buahnya. Jika memang itu baik untuk semua, kenapa tidak...?.
Dan bijaksana dalam mengambil setiap keputusanya.
Pada prinsipnya, Pak Bejo tidak mau usahanya melanggar hukum negara, makanya yang berkaitan dengan peraturan pemerintah dia laksanakan. Pun terhadap karyawan dan buruh-buruhnya, Pak Bejo juga tidak mau semena-mena. Semua direngkuh laksana keluarganya. Pak Bejo tidak mau sewenang-wenang terhadap mereka. Orang bilang, Pak Bejo adalah seorang pemimpin yang  terberkati.
Selidik punya selidik, Pak Bejo ini mempunyai landasan didalam menjalani peran kehidupanya, Pak Bejo merasa bukan siapa-siapa dan hanya sebagai alat Tuhan semata. Dengan kepemimpinan yang ngayomi tersebut, semua karyawan dan buruh menjadi merasa memiliki tempat kerjanya, semua bekerja sebaik-baiknya demi kemajuan tempat kerjanya. Tanpa disangka di suatu siang, pak Bejo mendadak terkena serangan jantung, dan keesokan harinya meninggal dunia. Tentunya banyak sekali yang merasa kehilangan dan berduka-cita. Belum ada 3 (tiga) bulan sepeninggal Pak Bejo, perusahaan tersebut sudah gonjang-ganjing. Setelah Pak Bejo meninggal dunia, tampuk pimpinan dipegang oleh putra sulung Pak Bejo, sebut saja Pak Berto, yang berpendidikan S-2 - jurusan Bisnis, lulusan Amerika. Mungkin karena terlalu bersemangatnya, Pak Berto kurang bijaksana dalam mengimplementasikan ilmu-ilmu bisnis yang didapatnya. Pak Bento langsung saja main rombak tatanan yang sudah dibuat almarhum Papanya. Buruh dan karyawan  yang sudah terbiasa bekerja secara kekeluargaan (saling tolong, saling peduli tetapi tetap dengan disiplin tinggi), merasa tidak nyaman dan merasa tidak aman lagi dengan penerapan sistim baru. yang menurut pak Berto akan jauh lebih baik. Pada akhirnya ada ketidak setujuan disana-sini dan terjadilah kekacauan demi kekacauan yang sangat memusingkan pihak management. Terakhir saya bertemu dengan teman yang masih bekerja disana dan mencoba bertanya keadaan di tempat kerjanya, dan jawabnya "Tetap jauh lebih nyaman dibawah kepemimpinan almarhum Pak Bejo, padahal produksi sama.... tapi para pekerja dan buruh yang sekarang sudah menjadi seperti robot saja...."
Dari pengalaman almarhum teman dan putranya tersebutlah saya tergelitik untuk menulis ini semua. Dan menurut kesimpulan saya, pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang bisa memimpin dengan hati, karena yang dipimpin adalah Manusia (Subyek) dan bukan Benda (Obyek).
Dan pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang bisa mengayomi dan bisa memberi rasa aman dan nyaman kepada bawahannya. Yang bisa nguwongke dan punya rasa empathy yang tinggi.  Ditambah dengan sikap yang tegas dan bijaksana maka mendekati sempurnalah ia.



Sabtu, 27 Oktober 2012

"MELAYANI dan bukan DILAYANI"




Fenomena Jokowi-AHok (Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta) bulan-bulan terakhir ini sangatlah luar biasa. Sungguh tepat rakyat telah mengusung Jokowi - AHok ke jajaran penguasa tingkat nasional. 
Banyak tantangan yang harus mereka hadapi, dari pencalonan, pemilihan sampai mereka terpilih dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, permasalahan selalu  saja ada. Mulai dari keetnisan A Hok yang seorang Tionghoa dan beragama Kristen, yang menyebabkan munculnya  issue SARA. Masa kerja Jokowi yang belum tuntas sebagai Walikota Surakarta, yang menyebabkan Jokowi harus menghadapi tuntutan hukum dari 2 orang warganya, sampai pada  tuduhan pencitraan, semua dapat dilalui dengan mulusnya. 
Dan itu semua berkat dukungan dan kawalan rakyat yang telah memilihnya,  beserta dengan pasukan semut merahnya yang telah bekerja dengan tulus, iklas dan allout pula.  
Bravo JB....Bravo Jokowi-AHok beserta seluruh warga Jakarta... Hidup Jakarta Baru....!!!
Apakah dengan sudah terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur dan AHok sebagai Wakil Gubernur Jakarta, tantangan menjadi reda....? ternyata tidak. Issue pencitraan masih saja tetap ada. 
Issue ini kembali mencuat  setelah Jokowi-AHok berusaha melaksanakan apa yang sudah dijanjikan selama kampanye terhadap rakyat. Jokowi konsisten melakukan sidak ke Pasar-pasar tradisional, Kelurahan, Kecamatan, Puskesmas, Rumah Susun (Rusun) dan Bantaran-bantaran kali. Langkah Jokowi yang menerapkan sistem MELAYANI rakyat dengan lebih baik dan manusiawi ini ternyata menjadi masalah buat para elite yang biasa DILAYANI. Jokowi tidak mau banyak waktu kerjanya banyak di belakang meja, namun Jokowi memakai pola jemput bola, blusukan ke tempat-tempat  yang suka dikeluhkan warga masyarakat karena kurang baik pelayanannya. Namun langkah yang dilakukan Jokowi ini ternyata membuat baik para pejabat, masyarakat maupun media massa terkaget-kaget. Semua merasa surprise menyaksikan Gubernurnya berkenan meluangkan waktu,  turun mendatangi mereka, mendengar keluhan, mencatat permasalahan yang ada dan menjanjikan bahwa semua akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. 
Dalam hal ini Rakyat sungguh pantas dipuji, karena telah jeli memilih pemimpin yang mau dan niat Melayani, dan bukan pemimpin yang maunya hanya Dilayani. Semoga semua akan baik-baik saja.